Banyak orang Indonesia pasti tahu siapa Haji Agus Salim, tapi mungkin tak banyak yang kenal wajah abak-nya.
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan kodak sang ayah, lelaki
yang sudah berjasa dalam melahirkan diplomat ulung yang telah
mengharumkan nama Indonesia itu.
“Padoeka j.[ang] m.[oelia] angkoe Soetan Mohamad
Salim[,] hoofddjaksa di Tandjoeng Pinang, Riouw”, demikian judul foto
ini yang kami reproduksi dari jurnal Bintang Hindia.
Foto kiriman Baginda Djamaloedin ini memperlihatkan sang Engku Jaksa
Kepala sedang duduk di kursi kebesarannya dengan pakaian dinas lengkap
berkerawang di tepi an lengannya seperti pakaian kebesaran Gubernur
Jenderal Daendels.
Dalam hidupnya Sutan Mohamad Salim menikah dua
kali. Istrinya yang pertama bernama Siti Zainab. Ia meninggal pada saat
anak-anaknya masih kecil. Kemudian waktu bertugas di Tanjung Pinang ia
menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Widna Roemaniah. Dari
kedua istri itu Sutan Mohamad Salim dikaruniai 13 orang anak, tapi lima
orang anaknya mati muda. Demikian informasi yang disampaikan oleh salah
seorang anaknya, Abdoel Chalid Salim (yang kemudian menjadi umat Kristen
di Belanda dengan nama baptis Ignatius Franciscus Michael Salim) dalam
otobiografinya Vijftien Jaar Boven-Digoel (1973). Chalid juga
mengatakan bahwa ayahnya dan anak-anaknya sehari-hari di rumah
berkomunikasi dalam bahasa Belanda, suatu gambaran kultural tentang
budaya kaum elit pribumi Indonesia di zaman kolonial.
Belum saya temukan tulisan yang mengungkapkan
secara lengkap riwayat hidup Sutan Mohamad Salim. Yang ada hanya
fragmen-fragmen kecil dalam beberapa buku/artikel, seperti dalam buku Padang, Riwayatmu Dulu oleh Rusli Amran (1986).
Kita berharap ada sejarawan Sumatra Barat
menulis artikel ilmiah tentang sejarah hidup dan pemikiran putra Koto
Gadang yang cemerlang ini. Karena bekerja dalam dinas BB
Kolonial Belanda di masa hidupnya, pasti banyak arsip dan catatan
mengenai diri dan kariernya yang tersimpan di arsip-arsip kolonial di
Belanda. Di negeri yang tidak punya tradisi pengarsipan yang baik
seperti di Republik ini, menulis sejarah, apalagi biografi, yang
berbobot memang rada susah. Tanpa mengabaikan sedikit pengecualian,
kebanyakan biografi yang ditulis hanya berkuaalitas emas lancung.
sumber :
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Bintang Hindia, No. 8. Tahoen jang pertama, 15 April 1903:80) | Singgalang, Minggu, 18 Agustus 2013
0 Response to "Minang Saisuak #137 - Hoofddjaksa Sutan Mohamad Salim"
Post a Comment