Minang Saisuak #137 - Hoofddjaksa Sutan Mohamad Salim

Banyak orang Indonesia pasti tahu siapa Haji Agus Salim, tapi mungkin tak banyak yang kenal wajah abak-nya. Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan kodak sang ayah, lelaki yang sudah berjasa dalam melahirkan diplomat ulung yang telah mengharumkan nama Indonesia itu.

“Padoeka j.[ang] m.[oelia] angkoe Soetan Mohamad Salim[,] hoofddjaksa di Tandjoeng Pinang, Riouw”, demikian judul foto ini yang kami reproduksi dari jurnal Bintang Hindia. Foto kiriman Baginda Djamaloedin ini memperlihatkan sang Engku Jaksa Kepala sedang duduk di kursi kebesarannya dengan pakaian dinas lengkap berkerawang di tepi an lengannya seperti pakaian kebesaran Gubernur Jenderal Daendels.

Dalam hidupnya Sutan Mohamad Salim menikah dua kali. Istrinya yang pertama bernama Siti Zainab. Ia meninggal pada saat anak-anaknya masih kecil. Kemudian waktu bertugas di Tanjung Pinang ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Widna Roemaniah. Dari kedua istri itu Sutan Mohamad Salim dikaruniai 13 orang anak, tapi lima orang anaknya mati muda. Demikian informasi yang disampaikan oleh salah seorang anaknya, Abdoel Chalid Salim (yang kemudian menjadi umat Kristen di Belanda dengan nama baptis Ignatius Franciscus Michael Salim) dalam otobiografinya Vijftien Jaar Boven-Digoel (1973). Chalid juga mengatakan bahwa ayahnya dan anak-anaknya sehari-hari di rumah berkomunikasi dalam bahasa Belanda, suatu gambaran kultural tentang budaya kaum elit pribumi Indonesia di zaman kolonial.

Belum saya temukan tulisan yang mengungkapkan secara lengkap riwayat hidup Sutan Mohamad Salim. Yang ada hanya fragmen-fragmen kecil dalam beberapa buku/artikel, seperti dalam buku Padang, Riwayatmu Dulu oleh Rusli Amran (1986).

Kita berharap ada sejarawan Sumatra Barat menulis artikel ilmiah tentang sejarah hidup dan pemikiran putra Koto Gadang yang cemerlang ini. Karena bekerja dalam dinas BB Kolonial Belanda di masa hidupnya, pasti banyak arsip dan catatan mengenai diri dan kariernya yang tersimpan di arsip-arsip kolonial di Belanda. Di negeri yang tidak punya tradisi pengarsipan yang baik seperti di Republik ini, menulis sejarah, apalagi biografi, yang berbobot memang rada susah. Tanpa mengabaikan sedikit pengecualian, kebanyakan biografi yang ditulis hanya berkuaalitas emas lancung.


sumber :
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Bintang Hindia, No. 8. Tahoen jang pertama, 15 April 1903:80) | Singgalang, Minggu, 18 Agustus 2013

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Minang Saisuak #137 - Hoofddjaksa Sutan Mohamad Salim"

Post a Comment