Sebuah surau dengan kolam (tabek) di
depannya merupakan pemandangan umum di Minangkabau di masa lalu.
Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa inilah salah satu
penampakan fisik yang jelas dari efek revolusi agama yang terjadi di
Minangkabau pada paroh pertama abad ke-19.
Kombinasi kolam dan surau atau mesjid itu
juga cukup khas Minangkabau. Ini jelas dimungkinkan oleh dua hal:
pentingnya air sebagai alat untuk mensucikan diri dalam Islam di satu
sisi, dan keadaan geografi Ranah Minang nan subur dan berbukit-bukit
yang memiliki banyak saluran air, di sisi lain. Air tabek yang dibuat di dekat surau
tidak hanya berfungsi sebagai tempat mengambil air sembahyang atau
untuk mandi, tapi juga untuk memelihara ikan yang hasilnya digunakan
untuk kepentingan surau bersangkutan.
Ruang religius yang khas Minangkabau ini
pasti menjadi bagian dari memori koleksif setiap anak lelaki Minangkabau
yang menghabiskan masa kecilnya di Ranah Minang. Kehidupan di surau merupakan bagian dari life circle lelaki Minangkabau sebelum tahun 1980-an. Muhammad Radjab dengan menarik mengabadikannya dalam biografinya Semasa kecil di kampung, 1913-1928: Autobiografi Seorang Anak Minangkabau (Jakarta: Balai Pustaka, 1950).
Foto klasik rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini
menawarkan wisata visual sejarah ke salah satu nagari di darek, tepatnya
Baso, di Luhak Agam, yang memotret ‘ruang religius’ yang khas
Minangkabau ini. Baso merupakan salah satu nagari di Luhak Agam yang
banyak terkena dampak pengaruh gerakan Paderi pada masa lampau. Khusus
kepada anak nagari Baso, foto klasik yang dibuat sekitar 1931 ini tentu
dapat menjadi rujukan historis sekaligus untuk melihat perubahan apa
yang sudah terjadi di ruang publik nagari itu sekarang.
0 Response to "Minang Saisuak #138 - Surau di Baso, Agam"
Post a Comment