TRADISI SABUANG AYAM boleh dibilang sudah hapus di Minangkabau. Adalah Kaum Padri pada paroh pertama abad ke-19 yang melarang kebiasaan adu jago pakai taji ini, sebab identik dengan judi dan menyiksa binatang. Pelakunya dianggap berdosa dan kalau mati akan masuk neraka. Namun demikian, lama kemudian tradisi sabung ayam masih ditemukan di Minangkabau. “Oerang Polici [di Padang yang bernama si Rehim] bersama dengan 4 temannja soedah menangkap 12 oerang jang asig menjaboeng ajam di Belantoeng, di belakang roemah kornel kepala bala tantra di Pasisir Pertja Barat. Si Rehim terdjatoeh, dan ajam jang di bawag nya meranggoet ranggoet tadji, se hingga oerang itoe loeka tangannja. Sampeij se karang loeka itoe beloem baig”, demikian laporan koran Bentara Melajoe, Thn I, Selasa, 12 Juni 1877.
Foto ini menggambarkan sekelompok lelaki Minang sedang asyik menonton ayam balago. ‘Hanengevecht op Sumatra’s Weskust’, demikian judul foto ini, yang berasal dari kartu pos tua bertarikh 1905. Di kiri bawah tertulis ‘Groet van Sumatra’s Westkust’ (Salam dari Sumatra Barat). Agaknya ini adalah salah satu kartu pos klasik yang mempromosikan parawisata Minangkabau pada awal abad ke-20. Tidak ada informasi di daerah mana foto ini diambil. Namun, jika kita amati pakaian para penonton sabung ayam ini, ada kesan foto ini di ambil di daerah yang agak dingin di darek. Dalam foto ini kelihatan para lelaki memakai semacam sarung yang diselimutkan ke tubuh untuk menahan hawa dingin. Yang duduk mencangkung di tengah mungkin janang. Sementara dua orang yang maju agak ke depan di kiri dan kanan mungkin si pemilik ayam. Di latar belakang ada semacam pondok yang berfungsi seperti gelanggang, tapi mungkin juga pondok-pondok bekas pasar mingguan. Dalam foto ini tidak tampak adanya tanda-tanda judi (taruhan), dan tidak kelihatan pula Dang Tuanku, anak Bundo Kanduang yang suka pergi ke gelanggang sabung ayam rajo-rajo itu, sehingga sampai lupa tunangannya, Puti Bungsu, sudah direbut oleh Raja Imbang Jayo, anak Tiang Bungkuak, di ranah Sikalawi, sebagaimana diceritakan dalam kaba Cindua Mato yang terkenal itu. (Sumber foto: KITLV Leiden). Suryadi – Leiden, Belanda.
sumber
sumber