Minggu ini rubrik “Minang Saisuak” menampilkan foto klasik Hotel Centrum di Fort de Kock, nama yang diberikan oleh Belanda untuk Bukittingi. Kata Centrum yang dipakai untuk nama hotel ini jelas dari bahasa Belanda, yang artinya pusat kota. Hotel ini jelas salah satu lambang kemodernan kota Bukittinggi di awal abad ke-20.
Belum diperoleh informasi kapan persisnya hotel ini mulai dibangun tapi yang sangat mungkin lebih awal dari 1910. Ada beberapa foto lain tentang Hotel Centrum ini yang diambil dari sudut bidik (angle) yang berbeda-beda yang sekarang disimpan di KITLV Leiden dan Tropenmuseum di Amsterdam.
Lihatlah berapa anggunnya hotel ini. Terlihat dua mobil dengan roda berjari-jari mobil yang tergolong mewah di zaman itu sedang parkir di depan hotel itu, ditunggui oleh jongos hotel. Dapat dipastikan bahwa yang bertenggek di atas mobil itu dan yang biasa menginap di hotel ini tentunya orang-orang gadang berkulit pucat yang di zaman itu kebanyakan memakai kumis melintang.
Sebagai kota peristirahatan bagi warga kelas menengah dan kelas atas kota Padang, kota Bukittinggi berkembang pesat menjadi kota wisata sejak akhir abad ke-19. Orang-orang Eropa dan Cina menanam investasi di kota itu dengan membangun hotel-hotel. Foto-foto Ngarai Sianok (Karbouwengat) nan indah yang terletak di sisi kota itu menyebar ke mana-mana.
Paket-paket wisata yang ditawarkan oleh Dinas Pariwisata Hindia Belanda mengiklankan keindahan kota Fort de Kock sebagai tempat berlibur yang berhawa segar dan nyaman. Sampai akhir zaman kolonial pariwisata Hindia Belanda lebih banyak dilakoni oleh orang Eropa.
Suasana urbanscape Fort de Kock yang menyenangkan di awal abad ke-20 terekam dalam naratif banyak novel Indonesia modern yang ditulis oleh orang Minang, misalnya dalam Melati van Agam karya Swan Pen.
Hotel adalah tradisi Eropa yang diimpor ke Hindia Belanda. Namun, telinga orang Indonesia sekarang sudah begitu akrab dengan kata hotel. Tidur di hotel terasa enak, cobalah tanyakan kepada manusia hotel seperti Iwan Simatupang atau Saldi Isra.
Saya juga sudah pernah menumpang tidur di hotel. Tak bisa saya ingat lagi kapan persisnya saya pertama kali menginap hotel. Yang saya rasakan adalah suasana senang begitu masuk hotel dan merebahkan diri di sofanya yang bersih. Tapi satu-dua hari kemudian kamar hotel itu membuat saya merasa asing dengan diri saya sendiri.
Hotel Centrum di Fort de Kock jelas memiliki nilai sejarah. Banyak kota Asia yang memelihara bangunan hotel warisan zaman kolonial. Ingatlah, misalnya, Hotel Raffles di jantung kota Singapura yang konon hanya untuk minum secangkir kopi di lobby-nya orang harus mengeruk beberapa ratus dollar dari kantong.
Apakah Hotel Centrum Bukittinggi masih ada sekarang? Jika masih ada, ingin juga rasanya saya meyeruput secangkir kopi di lobby-nya, dan menginap agak semalam-dua di sana.
sumber