WANITA MINANGKABAU MODERN bukanlah fenomena yang baru terjadi kemaren. “Modernization in the Minangkabau world”, meminjam judul artikel Taufik Abdullah (1972) adalah sebuah keniscayaan. Para perantau Minang membawa pulang berbagai ideologi, baik yang berlabel agama maupun yang sekuler, bahkan juga ideologi sosialis dan komunis, yang kemudian mempengaruhi masyarakat Minang di kampung halaman sendiri. Minangkabau pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah reaktor peternakan berbagai ideologi, kata Jeffrey Hadler pula dalam bukunya Muslims and Matriarchs […] di Minangkabau (2008:180).
Kaum wanita Minangkabau pun tak lepas pula dari pengaruh berbagai ideologi yang dibawa para perantau itu. Foto yang kami sajikan kali ini memperlihatkan seorang wanita Minang modern yang sedang bermain-main dengan anjing kesayangannya yang kelihatannya amat jogak. Foto yang dibuat sekitar tahun 1924 ini semula tercatat milik Antiquariaat Minerva di Den Haag. Tidak ada informasi siapa nama wanita ini, juga tempat dimana foto ini dibuat di Sumatra Barat. Melihat latar foto ini, tampaknya lokasinya di daerah pedesaan. Mungkin wanita ini sedang berpelesiran ke luar kota. Yang jelas penampilan wanita ini merefleksikan ideologi modernitas Barat yang dianutnya. Barangkali ia adalah salah seorang wanita Minang terpelajar yang memperoleh pendidikan Belanda. Lihatlah baju model you can see yang dikenakannya, yang dikombinasikan dengan rok dan sepatu tinggi tumit, bukan tarompa patakuih seperti yang dipakai orang kebanyakan. Dia juga tidak memakai selendang atau tikuluak seperti umumnya wanita Minangkabau pada masa itu.
Justru sekarang hampir tak pernah kita melihat wanita Minang, baik yang paling modern sekalipun, dengan gaya seperti gaya wanita dalam foto ini. Yang masih sering kita lihat hanyalah para lelaki pecandu buru babi yang pakai sebo, dengan anjing-anjing mereka yang penampilannya jelas kalah jauh dari penampilan herder jangkung milik wanita ini. Jadi, coba Anda pikir, apakah ‘modernisasi’ itu sebenarnya? Di tahun 1920-an sebagian wanita Minang sudah ber-you can see dan menuntun anjing, di tahun 2010 ini sebagian mereka pakai jeans ketat dan baju tampak pusar. Namun, hakekatnya sama: refleksi kemodernan, suatu penampilan dan perilaku yang dianggap ‘menyimpang’ dari adat. Fenomena ini akan terus terjadi pada dekade-dekade yang akan datang. Di setiap zaman selalu muncul kepanikan moral (moral panics) dalam menghadapi gejala ini. Dan selalu akan ada orang berkata bahwa ‘dosa manyarakat sudah menumpuk’ dan ‘kiamat sudah dekat’.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
# AB
Setelah membaca artikel Pak Suryadi tersebut di atas beserta jawabannya atas tanggapan salah seorang pembaca yang berbunyi sebagai berikut :
Dalam ketetangan bibliografis mengenai foto ko dalam katalog KITLV Leiden tertulis sbb:
“Vrouw met hond, vermoedelijk op Sumatra’s Westkust”. Dan juga ada keterangan mengenai provenance foto ini: “Album afkomstig van Djoesa Anas te Den Haag”. Nama “Djoesa Anas”, sepertinya cukup berbau Minangkabau. Mungkin Djoeasa Anas ini adalah salah seorang Minangkabau yang menganut ideologi modernisme Barat, seperti halnya Abdoel Rivai dan beberapa orang lainnya. Besar kemungkinan juga wanita di atas adalah salah satu anggota keluarga Djoesa Anas sendiri.
Karena dulu pernah mengenal tante Djoes Anas, saya (T. Bustamam/Anak Bunian) pada tanggal 18 Januari 2011 menulis tanggapan mengenai wanita dalam foto tersebut dan setelah itu terjadilah beberapa chatting saya dengan Pak Suryadi yang kemudian belakangan merupakan latar belakang penulisan artikel “Si Minang Eksil : dr. Anas” oleh Pak Suryadi. Tanggapan saya atas artikel tersebut pada tanggal 18 Januari 2011 adalah sbb. :
Sanak Suryadi,
“Vrouw met hond, vermoedelijk op Sumatra’s Westkust”. Dan juga ada keterangan mengenai provenance foto ini: “Album afkomstig van Djoesa Anas te Den Haag”. Nama “Djoesa Anas”.
Bagi orang-orang Indonesia, terutama orang-orang Minang yang bermukim di Den Haag dan sekitarnya sebelum / sampai dengan dekade 1970-an pasti mengenal Tante Djoes Anas. Saya sendiri ketemu beliau pada suatu acara lebaran masyarakat Indonesia di Den Haag pada thn1969 atau 1970 (?). Tante Djoes Anas ini adalah janda dari Dr. Anas yang berasal dari Payakumbuh. Dr. Anas adalah satu-satunya orang Minang yang benar-benar “Blandist” / yang pro Belanda, paling tidak di Payakumbuh pada zaman perjuangan dulu dan tidak percaya Indonesia bisa merdeka dari Belanda. Usai penyerahan kedaulatan Dr. Anas dan keluarganya hijrah ke Negeri Belanda dan rumah yang ditinggalkannya di Payakumbuh sampai saat ini selalu dalam keadaan tertutup dan kelihatannya terawat dengan baik.
Dalam penampilannya Tante Djoes Anas ini adalah yang berpendidikan (Belanda) dan apakah anak dari seorang Demang /Tuanku Laras ?. Saya perkirakan bahwa wanita dalam foto tsb. adalah Tante Anas sendiri.
Wass.T.Bustamam
www.nadialova.blogdetik.com