Jika kita menapaktilasi sejarah hadirnya pers pribumi di Sumatra, khususnya di Padang, maka jelas nama Dja Endar Moeda (DjEM) alias Haji Moehamad Saleh, tokoh kita minggu ini, haram untuk dilewatkan.
DjEM lahir di Padang Sidempuan tahun 1861; menempuh Sekolah Pendidikan Guru di sana (tamat 1884); menjadi asisten guru di Air Bangis, lalu dipromosikan menjadi guru kepala pribumi di Batahan; sambil mengajar menjadi koresponden Soeloeh Pengajar (diterbit di Probolinggo mulai 1887); kemudian dipindahkan ke Singkil; pada tahun 1892 pergi ke Mekah; balik dari Mekah 1893; memutuskan tinggal di Padang; mendirikan sekolah partikulir dan pensiun sebagai guru pemerintah. Di Padang DjEM diterima sebagai editor koran Pertja Barat (pendiri: Lie Bian Goan, 1894).
Tahun 1900 DjEM menerbitkan berkala Tapian na Oeli (bahasa Batak) dan Insulinde di Padang. Tahun 1905 dia mengambil alih kepemilikan Pertja Barat dan percetakan Snelpersdrukkerij Insulinde dari Lie Bian Goan.
DjEM adalah seorang pribumi pintar yang terkemuka di Padang, punya kepribadian yang hangat dan punya banyak teman, baik dari kalangan pribumi maupun orang Belanda. Bahasa Belandanya lancar. Ii sempat menjadi penerjemah waktu berada di kapal dalam perjalanan haji dari Padang ke Jeddah.
Tahun 1906 DjEM menerbitkan Pemberita Atjeh di Kutaraja. Dua tahun kemudian ia menerbitkan lagi Warta Berita di Padang (sudah pernah terbit sebelumnya) dan berkala Minangkabau. Namun ketiga media itu tidak berumur panjang. Pemberita Atjeh pun berhenti terbit tahun 1909 karena mendapat saingan berat dari Sinar Atjeh (terbit 1907; dieditor: Liem Soen What).
DjEM mencoba peruntungan di Medan dengan menerbitkan Sjarikat Tapanuli dan Pewarta Deli (terbit 1910). Namun koran-korannya di Medan tak jalan karena persoalan SDM dan juga karena konflik dengan rekan bisnisnya. DjEM mengehentikan bisnis persnya dari Medan dan mencoba lagi peruntungan di Aceh dengan menerbitkan Bintang Atjeh (edisi perdana: Juni 1911). Tapi koran itu hanya bertahan sampai tahun 1913 (lih.: Ahmat B. Adam: http://www.mandailing.org/Eng/djaendar.h…).
Melalui koran-korannya DjEM menggugah kaum pribumi agar bergiat meraih kemajuan, juga untuk kaum perempuan. Sampai medio 1911 Pertja Barat masih terbit tiga kali seminggu. Bulan Juli 1911 DjEM terkena ranjau pers kolonial (tampaknya terkait dengan kritiknya terhadap para pegawai pribumi priyayi yang merugikan rakyat). Bersama saudaranya, Dja Endar Bongsoe, DjEM mendirikan persatuan wartawan pribumi.
Karena tertusuk ranjau pers kolonial, pimpinan Pertja Barat diambil alih oleh Dja Endar Bongsoe. Namun pada 11 Agustus 1911 Dja Endar Bongsoe mendadak meninggal. Kemudian Redaksi Pertja Barat dipegang oleh anak DjEM, Kamaruddin. Tapi rupanya Kamaruddin tidak secakap ayah dan pamannya. Tahun 1912, setelah bertahan hampir 2 dekade, Pertja Barat akhirnya berhenti terbit.
DjEM adalah seorang perintis pers pribumi di Sumatra, bahkan mungkin di Hindia Belanda. Minatnya sangat besar pada buku, media yang menurutnya penting untuk memajukan kaum pribumi sebangsanya. Penerbit dan toko Snelpersdrukkerij Insulinde, selain digunakan untuk mencetak koran-korannya, juga digunakan untuk mencetak buku-buku, baik karangannya sendiri maupun karangan orang lain.
Belum diketahui kapan persisnya DjEM meninggal. Namun, berdasarkan informasi fragmentaris dari beberapa surat kabar pribumi yang saya baca, besar kemungkinan tokoh telah memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan pers pribumi di Hindia Belanda itu ia meninggal sebelum 1920.
sumber
sumber