ENTAH kapan institusi penjara mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia. Barangkali tradisi memenjarakan orang diadopsi dari budaya orang Eropa yang suka menjajah bangsa-bangsa lain dan memenjarakan anggota masyarakat yang mereka jajah yang menolak bekerjasama dengan mereka. Belum ditemukan bukti sejarah bahwa di Minangkabau dikenal penjara sebelum orang Eropa datang ke wilayah ini. Biasanya dalam adat Minangkabau, kalau ada orang yang bersalah, hukumannya adalah ‘dibuang sepanjang adat’. Dalam tradisi etnis-etnis lain di Asia, ada bentuk hukuman lain: misalnya, seorang yang melakukan kesalahan yang berat diikat di sebuah lapangan dan siapa saja yang lewat boleh melemparnya dengan tahi atau kerikil.
Rubrik ‘Minang Saisuak’Singgalang Minggu kali ini menyajikan kepada pembaca setianya foto klasik Penjara Padang yang sekarang lebih dikenal dengan nama Lembaga Pemasyarakatan (LP) Muara Padang. Foto ini (9 x 14 cm.) aslinya adalah berupa prentbriefkaart (kartu pos) yang diproduksi oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang. Toko ini termasuk salah satu ‘toserba’ besar di Padang pada awal abad ke-20, letaknya di ‘Tanah Lapang Alang Lawas’. Toko Tuinenburg dimiliki oleh keluarga J. Boon yang dari namanya dapat diduga berasal dari Belanda. Ada berbagai macam produk impor yang dijual di toko ini, termasuk sepeda, radio, dan ‘mesin bicara’ (gramophone) (lihat: Oetoesan Melajoe, 31 Maret 1916).
Di bagian bawah kartu pos ini tertulis: ‘Gevangenis, Padang’(Penjara [di] Padang). Tidak ada keterangan tarikh pembuatan foto ini. Tapi dapat diduga mungkin kartu pos ini diproduksi sekitar dekade-dekade pertama abad ke-20. Jalan di depan penjara itu kelihatan masih sepi dan tidak selebar sekarang. Pohon-pohon di seberang jalan itu juga kelihatan masih ramai dan rimbun, yang sekarang sudah diselingi oleh warung-warung penjual makanan dan trotoar tepi pantai. Namun demikian, bentuk asli bangunan penjara ini tampaknya relatif masih bertahan sampai sekarang, walaupun di sana sini sudah direnovasi.
Belum diperoleh data akurat kapan persisinya LP Muara Padang mulai dibangun oleh Belanda. Yang jelas, dalam laporan-laporan Belanda tentang Padang lama, misalnya tulisan E. Netsher, “Padang in het laast de XVIII de eeuw’(Padang di akhir abad ke-18) dalam VBG 41.2 (1881:i-122), LP Muara ini sudah disebut-sebut juga. Pembangunan penjara ini jelas terkait dengan kepentingan konsolidasi politik Belanda untuk menguasai Minangkabau sejak akhir abad ke-17.
Banyak putra Minangkabau yang anti pejajahan telah merasakan dinginnya kamar ‘Hotel Prodeo’ Muara ini. Ada yang meringkuk di dalamnya bertahun-tahun, ada yang hanya menjadikannya tempat ‘transit’ untuk kemudian dibawa oleh Belanda ke tempat pengasingan yang jauh. Dan ada yang menghasilkan tulisan selama mereka ditahan di penjaran ini, antara lain Ahmat Marzuki, seorang pahlawan Pemberontakan Pajak di Kamang (1908). Selama ditahan di penjara ini, ia menulis Syair Perang Kamang, yang telah mencatat kejadian tragis itu dari perspektif pelakunya sendiri.
Tapi kini banyak pula si ‘cerdik buruk’ Minang yang menghuni ‘hotel berduri’ peninggalan Belanda ini. Rasanya tempat ini cocok bagi mereka yang mangauik kepeng rakyat untuk kepentingan pribadi dan keluarga sendiri.
LP Muara Padang jelas merupakan salah satu bangunan cagar budaya kota ini. Mungkin kita bisa pesan kepada Bapak Walikota: semoga LP Muara jangan sampai tertukar dengan ‘guling’, seperti nasib banyak bangunan tua lainnya di Padang. Mari kita jaga dan kita bela bangunan-bangunan tua di kota tercinta kita ini.
sumber
sumber