Belum banyak kajian sejarah yang dilakukan mengenai kedatangan kaum Tionghoa di darek (pedalaman Minangkabau). Apakah orang Cina masuk ke pedalaman Minangkabau menyusul kemenangan Belanda dalam Perang Padri (1837) atau mereka sudah melakukan hubungan dagang dengan orang Minang di dataran tinggi (darek) sebelum orang Eropa datang ke pantai barat Sumatra? Apakah mereka masuk ke pedalaman Minangkabau dari pintu timur atau pintu barat? Hal ini belum jelas benar terdeskripsi dalam buku Erniwati, Asap Hio di Ranah Minang; Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat (Yogyakarta: Ombak dan Yayasan Nabil, 2007), dan oleh karenanya perlu diteliti lebih lanjut.
Di Bukittinggi (yang di zaman kolonial bernama Fort de Kock) orang Tionghoa sudah lama juga bermastautin dan memainkan peran yang cukup siginfikan di bidang bisnis. Rubrik Minang Saisuak Singgalang Minggu kali ini menurunkan foto klasik satu sudut kawasan Pecinan di Bukittinggi. Tidak ada keterangan kapan foto ini dibuat, tapi mungkin dalam periode seperempat pertama abad ke-20 atau lebih awal. Disebutkan bahwa produsernya adalah Toko Agam yang bentuk fisiknya terekam dalam foto ini. Toko ini adalah milik seorang Cina yang bernama Liem Sioe Yaam. Fort de Kock Chineesche-kamp, demikian judul foto yang aslinya berbentuk kartu pos (prentbriefkaart) ini. Jadi, tampaknya kartu pos yang dicetak oleh Toko Agam ini sekaligus merupakan media untuk mempromosikan toko tersebut: fungsinya kurang lebih sama dengan almanak yang diproduksi oleh toko-toko modern sekarang.
Bagunan fisik Toko Agam ini kelihatan cukup kokoh. Toko ini bertingkat dua, dengan pintu dan jendela dibuat besar menyerupai pintu-pintu dan jendela bagunan-bangunan di Eropa. Jalan di depan dan di samping toko ini kelihatan masih lapang. Dalam koran-koran lama ditemukan beberapa iklan atas nama Toko Agam ini. Barang-barang yang dijual berupa tekstil dan juga jenis-jenis barang impor lainnya.
Seperti banyak kota lainnya di dunia, kawasan Pecinan jelas merupakan salah satu landmark kota Bukittinggi yang menjadi salah satu kota kebanggaan orang Minang. Sekarang di kawasan ini masih tersisa bangunan-bangunan lama, dan mungkin juga bekas Toko Agam masih ada. Kalau saya tidak salah dekat toko ini dulunya juga ada Percetakan Merapi yang cukup terkenal, yang telah ikut menyumbang dalam menumbuhkan tradisi keberaksaraan (literacy) di Minangkabau. Barangkali juga keturunan pemilik Toko Agam, Liem Sioe Yaam, masih meneruskan usaha nenek moyangnya sampai sekarang.
Seyogianya kawasan Pecinan Bukittinggi dilestarikan. Semoga angin lalu dapat menyampaikan pesan saya ini kepada Bapak Walikota dan anggota legislatif kota Bukittinggi.
sumber
sumber