Asap hio di Ranah Minang, meminjam
judul buku Ernawati (2007) tentang komunitas Tionghoa di Sumatra Barat,
memang sudah lama mengepul. Dalam buku itu Ernawati mendeskripsikan
keberadaan orang Tionghoa di Ranah Minang. Namun demikian, masih banyak
hal yang terkait dengan keberadaan komunitas Tionghoa di Padang yang
belum terungkapkan. Yang jelas, komunitas yang bernenek moyang dari
Negara Tirai Bambu itu sudah lama berhijrah ke berbagai tempat di Ranah
Minang. Mula-mula mereka mendiami entrepot-entrepot pantai seperti
Pariaman dan Padang. Tapi kemudian ada yang berpindah ke kota-kota
pedalaman, seperti Bukittinggi dan Payakumbuh.
Kali ini Singgalang Minggu
menurunkan foto klasik yang terkait dengan aktivitas orang Tionghoa di
Padang, yang mungkin banyak di antara kita sekarang yang tidak
mengetahuinya: kaum Tionghoa Padang dan sepakbola. Foto di atas
mengabadikan satu klub sepakbola milik orang Tionghoa yang terkenal di
Padang pada awal abad ke-20. Chinesche voetbalvereeniging
(Perkumpulan Sepakbola orang Cina) ini bernama Waras Kemoeliaan.
Seperti dapat dibaca dalam teks yang kami sertakan di foto itu, Klub
Waras Kemoeliaan didirikan pada tanggal 2 Agustus 1906 sempena hari
kelahiran Ratu Emma. Jelas ini ada kaitannya dengan politik semasa, di
mana posisi orang Tionghoa sebagai warga Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
di Nusantara yang sangat berperan di bidang ekonomi, sering lebih lebih
dekat dengan Belanda sebagai penguasa pada waktu itu. Lepas dari, itu
olah raga sepakbola termasuk meriah di kota-kota Sumatra Barat di masa
lampau. Selain klub Waras Kemoeliaanini, ada beberapa klub lain yang
muncuk di masa itu dan sesudahnya di Padang, Bukittinggi, dan
Payakumbuh.
Kelihatan cukup necis juga pakaian para pemain
sepakbola klub Waras Komoeliaan ini. Beberapa orang memakai topi:
tampaknya topi khas yang biasa dipakai oleh orang Cina di Padang pada
waktu itu. Beberapa orang memakai kaos yang ada salempangnya, Dua bola berwarna hitam seperti buah labu tergolek di depan. Tentu saja waktu itu bola baragi
yang bagus-bagus warnanya, seperti yang kini dipakai oleh Pasukan Kabau
Sirah di Indarung atau Setan Sirah di Manchester masih sulit didapat
untuk tidak mengatakan belum ada.
Kehadiran klub sepakbola Waras Kemoeliaan, yang
kemunculannya dikaitkan dengan ulang tahun Ratu Emma (1858-1934), jelas
mencerminkan hubungan sepakbola dan politik di Indonesia, sebagaimana
pernah dibahas oleh Freek Colombijn dalam artikelnya The politics of
Indonesian football: an introduction to a new field, Archipel
59 (2000):171-200. Kelindan antara sepakbola dan politik itu, sampai
sekarang pun masih kentara di Indonesia, sebagaimana dapat dikesan dari
kasus PSSI yang kursi ketuanya selalu ramai diperebutkan, penuh dengan
intrik dan juga korupsi.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Bintang Hindia, No. 19. Tahoen Keempat, 15 Januari 1907:250).
sumber
sumber