Secara geopolitik tradisional, Kerajaan Pagaruyung di masa lampau menerapkan konsep pemerintahan triumvirate
Rajo Tigo Selo, yaitu Rajo Alam yang berkedudukan di Pagaruyung, Rajo
Adat yang berkedudukan di Buo, dan Rajo Ibadat yang berkedudukan di
Sumpur Kudus. Mereka dibantu oleh Dewan Menteri yang beranggotakan empat
orang yang disebut Basa Ampek Balai, yaitu Tuan Bandaro (Tuan Titah) di
Sungai Tarab, Tuan Kadi di Padang Gantiang, Tuan Indomo di Saruaso, dan
Tuan Gadang (Harimau Campo Koto Piliang) di Batipuah.
Analog dengan konsep pemerintahan
Pagaruyung itu, nagari-nagari dalam lingkungan budaya Minangkabau juga
perintah oleh tiga unsur pemuka masyarakat yang dikenal dengan istilah
Tungku Tigo Sajarangan atau Tali Togo Sapilin, yaitu Ninik Mamak, Alim
Ulama, dan Cerdik Pandai. Sistem ini paling tidak merepresentasikan
pengintegrasian Islam dan intelektual sebagai hasil pendidikan sekuler
(Barat) dengan adat Minangkabau selepas revolusi agama pada paroh
pertama abad ke-19 (Perang Paderi).
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan foto penerus Tuan Bandaharo di Sungai Tarab di awal abad ke-20, yaitu Yang Mulia Tuanku Menek Datuak Bandaro Putiah.
Beliau memangku jabatan ini mulai 1923 sampai 1949. Foto ini berasal
dari koleksi album keluarga almarhum yang disimpan di rumah gadang
Panitahan di Sungai Tarab dan diolah oleh Made van de Gucyano. Menurut
Made, setelah Yang Mulia Tuanku Menek Datuak Bandaro Putiah meninggal,
beliau digantikan oleh Tuanku Basroel (1968-1993) yang tercatat sebagai
Panitahan ke-7. Made, yang mendapat informasi dari Yan, salah seorang
anak Tuanku Basroel, manambahkan bahwa sekarang jabatan ini dalam
keadaan kosong. Berdasarkan informasi dari keluarga keturunan Panitahan
yang diterima Made, dapat diketahui bahwa jabatan Bandaro Sungai Tarab
memang tidak selalu terisi; kadang-kadang jabatan itu terpaksa dibiarkan
kosong karena tidak ada pemangku yang dianggap layak atau karena
alasan-alasan lain.
Jika kita menapaktilasi sejarah
kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia sejak dari Aceh di Barat sampai ke
Jailolo di Timur dapat dikesan bahwa masing-masing kerajaan itu
memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri yang unik, tak
terkecuali Minangkabau. Namun, bangsa Indonesia yang mabuk demokrasi
modern ala Barat ini selalu abai untuk menimba pelajaran dari khazanah
budaya dan sistem politik milik nenek moyang sendiri yang mungkin
mengandung nilai-nilai yang lebih rancak. (Sumber: Made van De Guciano,
fb group Palanta R@ntauNet (http://www.facebook. com/#!/groups/21296781759/) diakses 2 Januari 2012).
Suryadi Leiden, Belanda.
Singgalang, Minggu, 12 Februari 2012
0 Response to "Minang Saisuak #77 - Tuanku Panitahan di Sungai Tarab"
Post a Comment