Bukittinggi dikenal sebagai kota peristirahatan. Walaupun bijo
kota ini pada awalnya adalah sebuah benteng (bernama Fort de Kock) yang
didirikan Kompeni Belanda dalam usaha mereka untuk mengalahkan Kaum
Paderi, lama kemudian, setelah Belanda menguasai Minangkabau, Fort de
Kock dikembangkan menjadi sebuah kota peristirahatan bagi para pegawai
Belanda yang bekerja di kota Padang yang panas.
Fungsi kota Fort de Kock kurang lebih sama
dengan kota Bogor, sebuah kota peristirahatan untuk para pegawai Belanda
yang bekerja di Batavia (kini: Jakarta), atau kota Malang dan Salatiga
di Jawa Timur yang juga berfungsi sama: tempat peristirahatan para
pegawai Belanda yang bekerja di Surabaya.
Di zaman kolonial, Fort de Kock telah dipromosikan menjadi salah satu kota tujuan wisata (tourist destination) di Sumatra. Asisten Residen Agam Tua, L.C. Westenenk, bahkan menulis dua guide book untuk turis guna mempromosikan Fort de Kock dan daerah-daerah sekitarnya sebagai daerah tujuan wisata, yaitu: Acht Dagen in de Padangsche Bovenlanden (Delapan Hari di Padang Darat) (1909) dan Sumatra: Illustrated Tourist Guide: Fourteen Days Trip in the Padang Highlands (The Land of Minangkabau) (1913).
Fort de Kock (Bukittinggi) seperti masih dapat
kita lihat dan rasakan sampai sekarang, walau di sana sini sudah banyak
terjadi perubahan memang sebuah kota pegunungan yang sejuk hawanya dan
elok pemandangannya. Dari kota ini jelas kelihatan Gunung Merapi dan
Singgalang yang menjulang tinggi, lambang kecantikan alam Minangkabau.
Di salah satu sisi kota ini membentang Ngarai Sianok yang keindahannya
telah diabadikan dalam ratusan lukisan dan foto sejak zaman saisuak sampai zaman sekarang.
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan sebuah foto klasik sudut Fort de Kock dekat Ngarai Sianok, yang sering ditulis Karbouwengat
dalam dokumen-dokumen klasik Belanda. Foto ini dibuat pada
dekade-dekade awal abad ke-20. Asri sekali tampaknya kota ini pada zaman
itu: pepohonan hijau meneduhi jalan-jalan kota. Terlihat sebuah
bendi yang sedang parkir (atau mungkin sedang jalan) di depan Hotel
Centrum, salah satu hotel mewah di Fort de Kock pada awal abad ke-20.
Suasana di depan hotel ini sudah diekspose dalam rubrik Minang Saisuak (Singgalang, 23-10-2011).
Hotel Centrum adalah salah satu dari banyak
hotel yang didirikan di kota wisata Fort de Kock. Selain itu, di kota
ini berdiri beberapa gedung pemerintah kolonial dan fasilitas pariwisata
dan olah raga. Sampai saat ini masih melekat istilah di darek: kalau
mau pergi ke Bukittinggi disebut pai ka Gaduang
(pergi ke gedung = pergi ke kota yang banyak gedungnya). Kini
Bukittinggi tetap ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, nasional, dan
internasional. Tapi konon kalau lagi musim libur harga kamar-kamar hotel
dan makanan di Bukittinggi mengalami mark up pula seperti harga
proyek-proyek pemerintah di negeri ini. Apalagi sekarang konon ada pula
razia di hotel-hotel yang tujuannya baik tapi bisa kontra produktif
dalam upaya pengembangan pariwisata di Sumatra Barat, khususnya di
Bukittinggi. Baa ko, Pak Walikota
Bukittinggi? Perlu pulakah kita bertanya kepada arwah Tuan Siteneng
bagaimana turisme di Fort de Kock dikelola di zaman kolonial? Tapi malu awak rasonyo, ndak?
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropemnuseum Amsterdam).
Singgalang, Minggu, 26 Februari 2012
0 Response to "Minang Saisuak #78 - Sebuah Sudut Fort de Kock (Bukittinggi) Awal Abad ke-20"
Post a Comment