Sejarah Ringkas
Seabad yang lalu, di satu nagari kecil di pinggang Gunung Merapi. Di
lintas Jalan Batusangkar-Bukittinggi. Di saat jalan lintas itu belum
beraspal mulus seperti sekarang. Nagari di Ranah Minang masih gelap
gulita. Belum ada aliran listrik.
Saat itulah, tepatnya tahun 1908, para tetua/sesepuh atau di Ranah
Minang disebut dengan tungku tigo sajarangan ( kaum ulama, ninik
mamak/para penghulu, cerdik pandai )Orang Rao-Rao, merancang satu masjid
yang tidak hanya indah di pandang mata. Tidak sekadar baik menurut
ilmu arsitek seperti yang berkembang sekarang. Melainkan juga dijiwai
oleh semangat mengamalkan Islam secara kaffah, yang sejalan dengan
menerapkan adat Minangkabau yang terkenal : Adat Basandi Syara’ dan
Syara’ Basandi Kitabullah (adat bersendi pada Agama, Agama bersendi pada
Al-quran). Apa yang harus dianut dalam adat, harus sesuai dengan
ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Semangat seperti itulah yang terkandung dalam masyarakat Rao-Rao
masa dulu. Semua itu terwujud dalam bangunan Masjid Raya Rao-Rao yang
hingga kini kokoh berdiri dengan ciri khas menara masjid yang
bergonjong, perpaduan antara rumah gadang (rumah adat Minang) dan
gonjong bak menara Masjid Masjidil Haram.
Harus diakui pula, pada masa itu tokoh muda dari Rao-Rao sudah ada
yang belajar ke Mekkah. Setelah pulang mereka menjadi juru da’wah. Tidak
hanya dikenal di sekitar wilayah Batusangkar, melainkan juga berda’wah
ke berbagai nagari di Sumatera Barat.
Sampai masa perang gerilya kemerdekaan dan “peri-peri” istilah Orang Rao-Rao untuk Peristiwa PRRI
(Pemerintahan Revolusioner RI), kitab berbagai bidang studi ilmu agama
yang sebagian berbahasa arab, dipelajari dan disimpan di Masjid itu.
Dengan demikian pembangunan sumber daya manusia berbasis Islam dan adat
Minang, berjalan seiring dengan pembangunan fisik berupa Masjid Rao-Rao
ini.
Bagaimanakah Masjid megah itu dibangun? Menarik untuk diungkap
tentang berbagai keunggulan Orang Rao-Rao kala itu, untuk mengonsep dan
mewujudkan bangunan melebihi zamannya.
Menurut cerita para tetua di Rao-Rao, sejak awal berdiri—seabad
lalu—lantai masjid Rao-Rao tersusun dari keramik berkualitas tinggi.Tak
tanggung-tanggung, semua itu dipesan langsung dari negeri Tirai Bambu,
China. Selain halus dan mengkilat walau dipakai sampai 50 lebih.
Berhubung Rao-Rao nagari di pegunungan yang tak bisa diakses dari laut,
dan angkutan darat seperti truk tidak tersedia, keramik itu harus
dibongkar dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Lalu dibawa dengan kereta
api, dan kemudian digotong dengan kuda berjalan pelan dari Bukit Tinggi
ke Rao-Rao.
Itulah sebabnya, sekitar tahun 1990-an, saat terjadi renovasi dan
lantai kemarik itu diganti dengan yang baru, sebagian Ibu-Ibu terutama
berusia lanjut, yang mengetahui sejarah di atas, meneteskan air mata.
Pasalnya, mereka mengetahui sejarah para orang tua Rao-Rao dulu
berjuang dengan cara yang tidak mudah.
Dampak dari syi`ar Masjid
Adanya masjid yang terhitung sebagai bangunan super mewah di kala
itu, diperguanakan multi fungsi oleh masyarakat, masjid bukan saja
sebagai pusat beribadah, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan
yang memberi motifasi untuk kemajuan nak nagari, dan tidak kalah
pentingnya Masjid juga digunakan sebagai kegiatan social lainnya,
terutama waktu itu sebagai pusat penyusunan strategi perjuangan
mengahadapi penjajah kolonial, oleh para pejuang orang Rao- Rao, salah
seorang dari pejuang itu Pakiah Sholeh (Bapak Bupati Kab. Tanah Datar
sekarang) yang dibuang ke Digul/Tanah Merah Papua oleh Belanda).
Masjid sebagai sentra pendidikan waktu itu, memacu semangat belajar Orang Rao-Rao. Semangat belajar itu terbukti dengan ramainya sekolah Darul Huda atau sehari-hari disingkat “sekolah DH,” yang terletak disisi kiri masjid. Setelah tamat sekolah DH, kala itu putra-putri dari Rao-Rao melanjutkan ke SMA atau Madrasah Aliyah, atau mengaji ke Surau – Surau yang terkenal di Ranah Minang untu menuntut memperdalam ilmu agama.
Dengan demikian pendidikan Rao-Rao mengalami kejayaan dibanding nagari lain, yakni masa pergolakan PRRI.
Kala itu sejumlah pelajar pulang kampung karena sekolah mereka tutup di
beberapa daerah. Atas inisiatif beberapa orang terpelajar dan Mahasiswa
Rao-Rao, berdirilah sekolah darurat dengan guru-guru dari pemuda
Rao-Rao sendiri.
Nasib mujur, sekolah itupun diakui. Dan sebagai hasilnya pelajar dari
nagari ini tidak mengalami putus sekolah, atau kehilang masa belajar
setahun, karena pergolakan tersebut.
Adanya masjid yang bagus, kaum muda yang terpelajar, dilengkapi
pula dengan minat pemuda untuk menjadi pedagang/saudagar. Akibatnya,
Rao-Rao tumbuh sebagai nagari dengan SDM yang
berdaya saing baik. Bahkan dengan merantau dan berdagang, daerah ini
kuat secara ekonomi. Sejak dulu terkenal orang-orang Rao-Rao pulang
kampung saat lebaran Idul Fitri, memperlihatkan kesuksesan pedagang
maupun kaum terpelajar.
Dengan demikian, maka dapatlah dipahami bahwa kegotong-royongan
Orang Rao-Rao sangat kuat. Termasuk dalam membangun masjid Rao-Rao itu
sendiri. Saat awal mula pembangunannya, menurut cerita orang tua-tua,
ada seorang perantau yang bersedia membiayai sendiri secara penuh.
Perantau itu menetap di Kuala Lumpur, dan kalaupun tak konglomerat
setara kini, setidaknya pedagang besar, bila sebutan masa sekarang.
Tapi niat itu ditolak secara halus oleh Wali Nagari Rao-Rao kala
itu. Alasannya sederhana saja, bila masjid yang menjadi kebanggaan
Nagari dibangun oleh satu orang atau kelompok keluarga atau suku
tertentu, akan mendatangkan perpecahan di kemudian hari.
Pemikiran bijaksana itu, ternyata terbukti manjur sekarang. Masjid
itu tetap menjadi kebanggaan bersama Orang Rao-Rao dimana pun di
seluruh dunia. Pasalnya setiap individu dari berbagai lapisan dan suku
di Rao-Rao ikut serta meneteskan keringat dan sumbangan materilnya untuk
masjid tersebut.
Tidak heran bila beberapa kali direnovasi, bantuan dari perantau
sangat besar dari berbagai kota di seluruh tanah air dan luar negeri.
Dapatlah dibayangkan bahwa dulu masjid Rao-Rao beratap ijuk, dan ornamen
yang sesuai dengan masanya. Kini beratap seng dan beberapa kali berobah
baik cat maupun bangunannya.
Bupati Tanah Datar, Shodiq Pasadigoe, dalam pidato peringatan 100
tahun Masjid Raya Rao-Rao, waktu pulang Basamo Lebaran, bulan Oktober
2008, mengatakan ada tiga masjid yang mirip dengan Masjid Rao-Rao di
seluruh Sumbar. Dua masjid lainnya dibangun karena permintaan dibuatkan
masjid seindah masjid ini. Lalu dibawalah mantan tukang kala itu, untuk
membangun masjid yang sama di nagari tersebut. Jadi dari sisi arsitek,
ini adalah masjid karya asli Orang Rao-Rao, bukan tukang yang ‘diimpor’
dari nagari lain atau luar negeri.
Oleh sebab itu, bila anda mengunjungi Sumbar dan sempatkan melintasi
Kota Batusangkar baik ke arah Bukittinggi maupun Payakumbuh, sangat
tepat memilih berhenti di Rao-Rao. Selain tempat sholat dan melepas
penat diperjalanan, dalam tahun-tahun mendatang, Pemerintah Kabupaten
Tanah Datar juga berencana membangun rumah musyafir, atau sejenis rumah
singgah.
Jadi selain bisa sholat dan menikmat alam yang sejuk, bisa pula
menginap di dekat masjid ini. Kedepan perjalanan wisata rohani cocok
untuk diarahkan ke Nagari Rao-Rao ini. Selain itu perlu pula
meningkatkan program pengkaderan ulama di Rao-Rao, sebagaimana
kejayaannya dulu. Semoga.
sumber:http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12609
0 Response to "Refleksi 105 Tahun Masjid Rao- Rao"
Post a Comment