Sekarang banyak orang Minangkabau
yang tidak berkeruncingan mempertentangkan adat dan agama. Di internet
(mailing list dan facebook group) ada pula yang memekik-mekik menghantam
tanah berseru lantang supaya adat Minangkabau dihapuskan saja. Mereka
mengatakan adat Minangkabau yang matrilineal itu jahiliyah. Foto yang
kami tampilkan kali ini menganulir pikiran sempit para radikalis
berpikiran sempit itu.
Foto ini diberi judul ‘A waterwheel in a river with swimming children for a mosque [in] Pajakomboeh, with a Minangkabau town hall in the background’.
Tapi bagi saya justru menarik memandang dengan cara sebaliknya:
keberdampingan antara surau dan balairuang adat di latar belakang itulah
yang sangat penting untuk diulas. Foto ini merefleksikan bahwa adat dan agama hidup berdampingan dengan damai di Minangkabau. Dalam foto ini terlihat betapa dekatnya surau (simbol agama) dengan balairuang adat (simbol adat). Di
surau orang mengaji dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengumpulkan
‘bekal’ untuk dibawa ke akhirat. Di balairuang orang Minangkabau
bermusyawarah dan bermufakat untuk mencari bulek sagolek picak salayang dalam rangka membina hubungan harmonis antarmanusia (hablum minannas).
Foto ini seolah hendak
mengatakan harmonisnya kehidupan masyarakat pedesaan Minangkabau di masa
lampau: agama dan adat hidup dalam alam yang subur. Teknologi pertanian
yang sederhana tapi efektif telah dikuasai oleh orang Minangkabau,
membuat lumbuang bapereang tak pernah kosong oleh
bulir padi. Foto ini (22,3 x 28,7 cm.) dibuat oleh Christian Benjamin
Nieuwenhuis sebelum 1922. Lokasinya di daerah Payakumbuh, namun tak
dijelaskan lebih rinci. Semoga masyarakat Minangkabau kini tetap menjadi
orang beradat dan beragama, serta hidup makmur oleh tanahnya yang
subur.
Sumber:
0 Response to "Minang Saisuak #105 - Surau, Balai Adat, dan Kincir Air"
Post a Comment