Minang Saisuak #104 - Sekolah Pendeta di Taluak, Ford de Kock

Kampanye penginjilan (misionaris) adalah bagian dari invasi bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Portugis menjajah Asia, Amerika Latin, dan Afrika berlindung di balik misi pengkristenan. Alasan mereka adalah untuk mengajarkan adab dan budaya kepada bangsa “barbar”.

Portugis melakukan hal yang sama di Maluku Utara sebelum mereka dialahkan oleh Belanda. Kolonialisme sememangnya adalah penindasan manusia atas manusia lain dengan membawa-bawa nama Tuhan. Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia misi penginjilan terus belangsung. Kini berkasnya tertinggal kuat di beberapa wilayah di Sumatra, sebagian kecil Pulau Jawa, dan di banyak daerah di Sulawesi Utara dan Indonesia Timur.

Para penginjil sering tanpa etika (sesuatu yang berlawanan dengan sifat Tuhan yang dikampanyekannya): orang yang sudah beragama, misalnya Islam atau Hindu, masih terus dirayunya agar percaya kepada Tuhan Yesus. Minangkabau yang identik dengan Islam sudah lama pula diincarnya. Akhir-akhir ini isu pemurtadan makin nyaring terdengar di Minangkabau, seperti terefleksi dalam buku Helmidjas Hendra, Dari surau ke gereja: murtad di Ranah Minang (Jakarta: Pustaka Aweha, 2009). Studi yang lebih mendalam dari perspektif sejarah mungkin harus dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen yang cerdas dari UNP dan UNAND. (Untuk penyigi jalan ke arah itu dapat digunakan karya Karel Steenbrink, Chatolics in Indonesia, 1808-1942: a documentary history, 2001 dan 2007 [2 jilid]).

Rubrik “Minang Saisuak” kali ini menurunkan satu foto klasik yang merekam jejak misi penginjilan di Minangkabau. Judul foto ini (16×22,5 cm.; tukang kodaknya tak diketahui; dibuat sekitar 1910-1930) adalah “Priesterschool Taloeg bij Fort de Kock, West Sumatra” (Sekolah Pendeta di Taluak, Bukittinggi, Sumatra Barat). Bangunan bercat putih dalam foto ini, yang mengkombinasikan arsitektur Eropa dan Minangkabau (lihat atapnya yang bergonjong), merepresentasikan taktik yang digunakan oleh para penginjil: pengkristenan harus dilakukan dengan pendekatan budaya. Hal ini berlaku di banyak tempat lain di dunia.

Ada yang mengatakan bahwa bangunan ini adalah sebuah surau (kata priester dalam bahasa Belanda yang dipakai di Hindia Belanda pada zaman kolonial bisa juga berarti ulama). Namun saya meragukannya karena dalam tradisi Minangkabau tidak ada ulama yang punya tempat tinggal bersama di satu bangunan seperti dalam tradisi Kristen dimana para (calon) pendeta atau suster disekolahkan dan tinggal di satu asrama. Para ulama di Minangkabau tinggal di suraunya, atau yang mempunyai keluarga akan tidur di rumah istrinya. Mereka juga tidak mengenal sistem pendidikan sekuler. Bangunan berwarna putih ini, yang konon letaknya tak jauh dari mesjid Taluak, sekarang sudah tidak ada lagi. Sedangkan bangunan kecil di belakangnya konon masih ada (lihat komentar Eko Alvares Z. di bawah). Apakah bangunan ini sengaja dihilangkan? Bangunan yang terbuat dari batu seperti ini mestinya lebih lama bertahan. Mungkin bangunan kecil yang masih tersisa itu dapat diteliti lebih lanjut.

Foto ini mendorong kita untuk mencari bukti-bukti yang lebih lengkap mengenai bangunan-bangunan kuno di Minangkabau. Kalau yang menyangkut misi-misi penginjilan, mestinya ada data yang bisa kita telusuri. Misi penginjilan selalu meninggalkan bekas-bekas fisik seperti bangunan (seperti asrama/sekolah untuk orang-orang yang baru dialihimankan), gereja, dll. Namun, satu hal perlu dicatat adalah bahwa cukup sulit untuk menemukan data yang pasti berapa orang Minangkabau sebenarnya kini yang sudah “batuka kalibalik”. Malah santer terdengar sudah ada beberapa orang Minangkabau yang jadi pendeta. Injil dalam bahasa Minangkabau sudah pernah pula dicetak, walau akhirnya dilarang beredar di Sumatra Barat.

Orang awam mungkin bertanya: untuk apa sebenarnya berebut pengaruh dalam menentukan konsep setiap pribadi manusia tentang Tuhan? Jawabnya: ini adalah bagian dari hasrat duniawi, sama sekali tak ada kaitannya dengan yang ukhrawi. Penginjilan yang gencar dilakukan di mana-mana tak lain adalah bagian dari usaha bangsa-bangsa Anglo-Amerika untuk mendominasi dunia. Untuk kelanggengan kuasa duniawi, para penjual (nama) Tuhan tetap berkeliaran di mana-mana, dulu, sekarang, dan di masa datang.





Sumber:
http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1001

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Minang Saisuak #104 - Sekolah Pendeta di Taluak, Ford de Kock"

  1. saya sangat suka hal hal yang berbau sejarah,terimakasih ya sudah mau sharing.

    ReplyDelete