Nagari Koto Gadang, yang terletak tak jauh
dari tubir Ngarai Sianok, akhir-akhir ini mendapat perhatian pers lagi.
Hal itu disebabkan oleh pembangunan ‘great wall’
yang memungkinkan orang turun ke Ngarai Sianok. Bangunan baru itu
segera menjadi objek wisata bagi masyarakat kita yang haus hiburan ini.
Koto Gadang adalah sebuah nagari yang
terkenal di Minangkabau karena berbagai prestasi luar biasa yang diraih
oleh anak nagari ini, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Sejak akhir abad ke-19 penduduk Koto Gadang sudah
menerima dengan terbuka ide-ide kemajuan yang dibawa oleh orang Eropa
(Belanda) ke Minangkabau. Oleh sebab itu penduduk nagari ini sudah lebih
dulu maju dibandingkan dengan penduduk nagari-nagari yang lain di
Minangkabau. Sudah banyak tela’ah ilmiah maupun laporan
jurnalistik mengenai nagari ini. Salah satu yang tertua di antaranya
adalah tulisan K.A. James, ‘De Nagari Kota Gedang’ yang dimuat dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 49 (1916).
Rubrik ‘Minang Saisuak’
kali ini menampilkan sebuah foto klasik yang mengabadikan (sebuah)
mesjid di Koto Gadang. “Moskee in Kotagedang” (Mesjid di Koto Gadang),
demikian judul foto berukuran 6,9 x 8,2 cm ini. Foto ini dibuat oleh mat
kodak Jean Demmeni tahun 1921. Semula foto ini dikoleksi oleh Indisch
Wetenschappelijk Instituut (IWI) di Belanda sebelum diserahkan ke
Tropenmuseum Amsterdam. Tampaknya mesjid ini sudah lumayan tua juga
umurnya. Satu foto lain tentang mesjid ini yang dibuat oleh Woordbury
& Page sekitar 1870 juga tersimpan di Tropenmuseum Amsterdam.
Tidak disebutkan apa nama
mesjid ini. Yang jelas Koto Gadang sudah lama dimasuki oleh Islam. Ini
antara lain terefleksi dalam legenda Tuanku Malim Kecil yang dianggap
sebagai orang suci oleh penduduk Koto Gadang (lihat: Jeffrey Hadler
2008:118-19). Kisah Tuanku Malim Kecil dicatat oleh D. Gerth van Wijk
dalam artikelnya ‘Een Menangkarbauwsche Heilige’ yang terbit dalam
jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 24 (1877): 224-33.
Terlihat bahwa arsitektur
mesjid ini dipengaruhi oleh arsitektur Minangkabau. Atapnya yang
bergonjong menunjukkan pengaruh arsitektur rumah gadang. Kubahnya memakai gaya tungkuih nasi,
dengan menara yang tidak begitu tinggi. Banyak ahli berteori bahwa
sinkretisme agam (Islam) dan adat Minangkabau tidak terjadi. Tapi bentuk
fisik mesjid ini jelas menunjukkan terintegrasinya Islam ke dalam adat
Minangkabau sebagai efek dari revolusi agama yang terjadi di daerah ini
pada paroh pertama abad ke-19. Dua orang lelaki yang berpakaian hitam
dan putih yang berdiri di depan mesjid itu juga seakan ingin menunjukkan
hubungan harmonis antara adat dan Islam di Minangkabau. Sekarang masih
saja ada orang (Minang sendiri) yang mencongkel-congkel permasalahan
dengan mengatakan bahwa budaya Minang yang tidak sesuai dengan Islam.
Mereka ingin menghapus identitas lokalnya karena berpandangan agama
secara sempit.
Sumber:Suryadi - Leiden, Belanda (Sumber foto: Tropenmuseum Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 28 April 2013
0 Response to "Minang Saisuak #125 - Sebuah Mesjid di Koto Gadang"
Post a Comment