Padang adalah kota di Sumatera yang paling duluan maju. Mendekati
akhir abad ke-19 budaya perkotaan modern sudah mulai berkembang di
Padang. Kota modern tentu memerlukan berbagai sarana, termasuk sarana
hiburan bagi warga kotanya.
Media-media hiburan modern hasil teknologi Barat segera pula dikenal
di Padang. Biasanya kalau media itu sudah dikenal di Batavia, tak lama
kemudian akan diperkenalkan juga di Padang. Phonograf (mesin bicara),
misalnya, pertama kali diperkenalkan di Padang tahun 1898, setelah
teknologi ini dibawa dari Eropa ke Jawa beberapa tahun sebelumnya
(Suryadi 2006). Lalu diperkenalkan juga teknologi fotografi. Menyusul
kemudian film yang pada 1900 mulai diperkenalkan di Batavia.
Pada dekade awal abad ke-20 warga kota Padang sudah menikmati film bioskop (dari kata Belanda: bioscoop). Fantastis ya! Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scala-Bio[scope] dan Cinema Theatre adalah empat bioskop pertama yang didirikan di Padang. Memasuki tahun 1920-an bioskop juga dibangun di Padang Panjang, Fort de Kock (Bukittinggi), dan Payakumbuh.
Nonton bioskop pada zaman itu unik. Orang nonton film pakai sarung dan peci. Perempuan pakai kebaya (tapi belakangan mulai tampil modern dengan rok dan blus). Jadi, pakaian ke surau dan ke bioskop pada waktu itu nggak beda-beda amat; susah membedakan apa orang mau pergi nonton atau pergi mengaji.
Antara kaum pribumi dan orang Eropa (Belanda) dan orang Cina kaya dibedakan tempat duduknya dalam panggung bioskop. Orang Eropa duduk di kelas Loge; Cina kaya di Kelas I; Pribumidi Kelas II dan Kelas III. Jadi, segregasi ras dan kelas sosial jelas banget dalam gedung bioskop pada masa itu.
Pertunjukan filmyang disebut gambar hidoepbiasanya diadakan dua atau tiga kali semalam. Filmnya masih sangat sederhana dan kebanyakan film bisu (film bersuara baru diperkenalkan sejak tahun 1927) dengan rol film yang pendek-pendek dan oleh karenanya harus sering bersambung Bahkan sering juga bioskop hanya memutar pantulan foto-foto dari ekspedisi ilmiah ke pedalaman Afrika dan Amerika kalau kebetulan tak ada film.
Pada zaman itu bioskop, yang bangunannya sering berbentuk panggung (makanya terkenal istilah panggung bioskop), bersifat multifungsi. Tempo-tempo, kalau tidak ada film, bioskop bisa difungsikan jadi panggung sandiwara (toneel) atau pertunjukan musik. Kali lainnya bisa jadi tempat pertemuan atau rapat (vergadering).
Para pemilik (eigenaar) bioskopbiasanya orang Eropa dan orang Cina kayasaling mengiklankan film yang akan diputar di bioskop mereka di surat kabar-surat kabar (persis kayak sekarang), disertai dengan kalimat gembar-gembor yang berupaya menarik perhatian pembaca (lihat ilustrasi: dari Pertja Barat, Selasa, 6/6/1911).
Nonton ke bioskop segera menjadi tren di kalangan masyarakat. Banyak karya sastra pada zaman itu yang menggambarkan anak muda atau pasangan yang lagi saling naksir pergi ke bioskop. (Nonton) bioskop segera menjadi salah satu identitas kemodernan pada zaman itu (juga koran; baca koran berarti intelek). Bacalah misalnya roman-roman seperti Melati van Agam, Roos van Pajacomboe, Njai Sida: Roos van Sawah Loento, Orang Rantai dari Siloengkang, Hantjoer-leboernja Padang Pandjang, Zender Nirom, dan lain-lain. Di dalamnya sering ditemukan narasi mengenai tokoh-tokoh utamanya yang bergaya pergi nonton bareng ke bioskop.
Bagaimana dengan harga karcis bioskop pada zaman itu? Sebagai gambaran: tahun 1911 harga karcis kelas Loge berharga 1 (gulden); kelas II 0,50; kelas III 0,25; dan kelas IV 0,10. Cukup mahal lho untuk ukuran pada waktu itu. Anak2 dibawah oemoer 10 taheon bajar separo alias dapat korting, sedangkan militair dibawah titel onder Officier bajar toeroet tarief di atas alias tak dapat korting (lihat ilustrasi) (Beda dengan Zaman Orde Baru, ya, dimana tentara sering gratis naik bus).
Banyak hal yang aneh-aneh terjadi di dalam dan di luar panggung bioskop pada zaman itu. Saya sering ketawa sendiri kalau lagi membaca koran-koran kuno: soalnya banyak kejadian lucu yang diberitakan. Ada yang ketakutan dalam gedung bioskop karena film yang memperlihatkan kereta api berlari kencang menuju arah bangku penonton: takut ketabrak ceritanya. Kadang-kadang terjadi juga keributan di luar gedung bioskop karena berdesak-desakan beli karcis.
Beberapa bintang film mulai jadi idola, seperti bintang koboi terkenal, Tom Mix (tewas dalam kecelakaan mobil di Arizona 12 Oktober 1940), bintang lucu Charlie Chaplin, dll. Di koran Sinar Sumatra saya pernah baca seorang anak yang nakal ngerjain seorang penjual minyak tanah keliling pakai gerobak di Padang sehingga minyak terbuang sepanjang jalan karena si anak meniru tindakan Tom Mix dalam salah satu filmnya.
Di antara para intelektual Minang, mungkin hanya Hamka yang sangat rapi mencatat pengalaman masa kecilnya ketika teknologi film masuk ke Sumatera Barat. Saat bersekolah di Padang Panjang tahun 1917, Hamka kecil (lahir 1908) sering nonton film gratis. Dari rumah Hamka bilang kepada orang tuanya mau ke surau, tapi ternyata dia dan kawan-kawanya ngacir ke panggung bioskop. Mereka pergi mengintip film yang main, sebab wang penjewa tidak ada.
Di bawah panggung itu, karena kenakalan anak-anak itu, telah mereka tembus sengaja dan mengintip dari sana dengan sepuas-puas hati. Rupanya kelakuan djahat ini ketahuan oleh pendjaga panggung, sehingga pendjaga panggung, melumar lobang-lobang intipan itu dengan tahi ajam.
Alangkah lutjunya seketika segumpal tahi ajam melekat dihidung kawan kita. Dengan berbisik-bisik karena kebusukannja, diadjaknja kawan-kawannja itu mengundurkan diri dari sana. Ada jang kena badjunja, ada jang kena hidungnja, dan ada pula jang kenal kain sarung sembahjangnya.
Pendjaga panggung terdengar tertawa terbahak-bahak!, demikian tulis Hamka dalam bukunya, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Gapura, 1951: I, 32-3).
Demikianlah sekelumit cerita mengenai perbioskopan di Padang (Sumatera Barat) tempo doeloe, yang tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut dalam perspektif sejarah budaya (cultural history). Mahasiswa dan dosen yang cerdas dari perguruan tinggi di Sumatera Barat pasti akan melakukannya. Yakin saya!
sumber : Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti di Universitas Leiden, Belanda
Pada dekade awal abad ke-20 warga kota Padang sudah menikmati film bioskop (dari kata Belanda: bioscoop). Fantastis ya! Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scala-Bio[scope] dan Cinema Theatre adalah empat bioskop pertama yang didirikan di Padang. Memasuki tahun 1920-an bioskop juga dibangun di Padang Panjang, Fort de Kock (Bukittinggi), dan Payakumbuh.
Nonton bioskop pada zaman itu unik. Orang nonton film pakai sarung dan peci. Perempuan pakai kebaya (tapi belakangan mulai tampil modern dengan rok dan blus). Jadi, pakaian ke surau dan ke bioskop pada waktu itu nggak beda-beda amat; susah membedakan apa orang mau pergi nonton atau pergi mengaji.
Antara kaum pribumi dan orang Eropa (Belanda) dan orang Cina kaya dibedakan tempat duduknya dalam panggung bioskop. Orang Eropa duduk di kelas Loge; Cina kaya di Kelas I; Pribumidi Kelas II dan Kelas III. Jadi, segregasi ras dan kelas sosial jelas banget dalam gedung bioskop pada masa itu.
Pertunjukan filmyang disebut gambar hidoepbiasanya diadakan dua atau tiga kali semalam. Filmnya masih sangat sederhana dan kebanyakan film bisu (film bersuara baru diperkenalkan sejak tahun 1927) dengan rol film yang pendek-pendek dan oleh karenanya harus sering bersambung Bahkan sering juga bioskop hanya memutar pantulan foto-foto dari ekspedisi ilmiah ke pedalaman Afrika dan Amerika kalau kebetulan tak ada film.
Pada zaman itu bioskop, yang bangunannya sering berbentuk panggung (makanya terkenal istilah panggung bioskop), bersifat multifungsi. Tempo-tempo, kalau tidak ada film, bioskop bisa difungsikan jadi panggung sandiwara (toneel) atau pertunjukan musik. Kali lainnya bisa jadi tempat pertemuan atau rapat (vergadering).
Para pemilik (eigenaar) bioskopbiasanya orang Eropa dan orang Cina kayasaling mengiklankan film yang akan diputar di bioskop mereka di surat kabar-surat kabar (persis kayak sekarang), disertai dengan kalimat gembar-gembor yang berupaya menarik perhatian pembaca (lihat ilustrasi: dari Pertja Barat, Selasa, 6/6/1911).
Nonton ke bioskop segera menjadi tren di kalangan masyarakat. Banyak karya sastra pada zaman itu yang menggambarkan anak muda atau pasangan yang lagi saling naksir pergi ke bioskop. (Nonton) bioskop segera menjadi salah satu identitas kemodernan pada zaman itu (juga koran; baca koran berarti intelek). Bacalah misalnya roman-roman seperti Melati van Agam, Roos van Pajacomboe, Njai Sida: Roos van Sawah Loento, Orang Rantai dari Siloengkang, Hantjoer-leboernja Padang Pandjang, Zender Nirom, dan lain-lain. Di dalamnya sering ditemukan narasi mengenai tokoh-tokoh utamanya yang bergaya pergi nonton bareng ke bioskop.
Bagaimana dengan harga karcis bioskop pada zaman itu? Sebagai gambaran: tahun 1911 harga karcis kelas Loge berharga 1 (gulden); kelas II 0,50; kelas III 0,25; dan kelas IV 0,10. Cukup mahal lho untuk ukuran pada waktu itu. Anak2 dibawah oemoer 10 taheon bajar separo alias dapat korting, sedangkan militair dibawah titel onder Officier bajar toeroet tarief di atas alias tak dapat korting (lihat ilustrasi) (Beda dengan Zaman Orde Baru, ya, dimana tentara sering gratis naik bus).
Banyak hal yang aneh-aneh terjadi di dalam dan di luar panggung bioskop pada zaman itu. Saya sering ketawa sendiri kalau lagi membaca koran-koran kuno: soalnya banyak kejadian lucu yang diberitakan. Ada yang ketakutan dalam gedung bioskop karena film yang memperlihatkan kereta api berlari kencang menuju arah bangku penonton: takut ketabrak ceritanya. Kadang-kadang terjadi juga keributan di luar gedung bioskop karena berdesak-desakan beli karcis.
Beberapa bintang film mulai jadi idola, seperti bintang koboi terkenal, Tom Mix (tewas dalam kecelakaan mobil di Arizona 12 Oktober 1940), bintang lucu Charlie Chaplin, dll. Di koran Sinar Sumatra saya pernah baca seorang anak yang nakal ngerjain seorang penjual minyak tanah keliling pakai gerobak di Padang sehingga minyak terbuang sepanjang jalan karena si anak meniru tindakan Tom Mix dalam salah satu filmnya.
Di antara para intelektual Minang, mungkin hanya Hamka yang sangat rapi mencatat pengalaman masa kecilnya ketika teknologi film masuk ke Sumatera Barat. Saat bersekolah di Padang Panjang tahun 1917, Hamka kecil (lahir 1908) sering nonton film gratis. Dari rumah Hamka bilang kepada orang tuanya mau ke surau, tapi ternyata dia dan kawan-kawanya ngacir ke panggung bioskop. Mereka pergi mengintip film yang main, sebab wang penjewa tidak ada.
Di bawah panggung itu, karena kenakalan anak-anak itu, telah mereka tembus sengaja dan mengintip dari sana dengan sepuas-puas hati. Rupanya kelakuan djahat ini ketahuan oleh pendjaga panggung, sehingga pendjaga panggung, melumar lobang-lobang intipan itu dengan tahi ajam.
Alangkah lutjunya seketika segumpal tahi ajam melekat dihidung kawan kita. Dengan berbisik-bisik karena kebusukannja, diadjaknja kawan-kawannja itu mengundurkan diri dari sana. Ada jang kena badjunja, ada jang kena hidungnja, dan ada pula jang kenal kain sarung sembahjangnya.
Pendjaga panggung terdengar tertawa terbahak-bahak!, demikian tulis Hamka dalam bukunya, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Gapura, 1951: I, 32-3).
Demikianlah sekelumit cerita mengenai perbioskopan di Padang (Sumatera Barat) tempo doeloe, yang tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut dalam perspektif sejarah budaya (cultural history). Mahasiswa dan dosen yang cerdas dari perguruan tinggi di Sumatera Barat pasti akan melakukannya. Yakin saya!
sumber : Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti di Universitas Leiden, Belanda
0 Response to "Bioskop Di Padang Tempo Doeloe"
Post a Comment