Minang Saisuak #10. Urang Paburuang

suryadi-minang-saisuak-10-urang-paburuang2


URANG PABURUANG dulu banyak ditemukan di Minangkabau. Ini hanya semacam hobi, tapi kadang-adang ada segi ekonominya juga. Kebiasaan ini sekarang sudah agak ditinggalkan orang. Dulu kita sering melihat orang pamikek lewat di kampung-kampung, menjinjing sangkar burung yang indah-indah bentuknya dan alat pamikek dalam kepitan, seperti terekam dalam foto ini yang dibuat oleh C. Nieuwenhuis tahun 1900 di pinggiran kota Padang. Bunyi burung pikektan, apalagi yang sudah saniah alias jinak, aduhai merdunya. Lihatlah gaya orang ini: pakaiannya cukup bergengsi, dengan destar yang khas pula, walau tanpa sandal. Cerutunya juga agak khas pula, walau bukan cerutu Havana.

Dulu para pamikek juga punya paguyuban dan saling jaga gengsi. Mereka sering pula mengadakan kontes burung. Burung yang sering dipikek (ditangkap dengan getah) antara lain balam (Jambi), punai, dan ketitiran. Jenis-jenis burung itu sering digunakan sebagai perlambang gadis cantik dalam bahasa kesusastraan Minangkabau. Rasakanlah dek pembaca ungkapan-ungkapan seperti ini: “Arok dek burung tabang tinggi, punai di tangan dilapehan”, “Basaba dulu buruang pipik, sangka diuni katitiran”. Sepertinya, jarang perempuan yang jadi urang paburuang. Kalau ada, mungkin dianggap kajantan-jantanan (‘tomboy’ istilah anak muda sekarang).

Sekarang banyak orang menembak burung dengan senapan angin. Jelas itu membahayakan kelestarian berjenis-jenis burung yang indah-indah karunia Tuhan kepada bangsa Indonesia. Sepatutnya kita belajar kepada orang paburuang, yang menangkap burung dengan tidak membunuhnya.

sumber

Subscribe to receive free email updates: