Sejak negeri ini menjadi modern dan bertambah maju, kata palayangan
sudah makin hapus dari kepala masyarakat kita. Mungkin kata itu pun
tidak tercatat lagi dalam Kamus Bahasa Minangkabau kontemporer. Itulah
salah satu efek dari modernisasi dan pembangunan infrastruktur di negeri
ini yang makin menghadirkan banyak jembatan dan jalan beraspal. Walau
pun demikian, terbaca berita di koran Singgalang dan banyak
surat kabar lainnya bahwa infranstuktur itu sekarang banyak yang tidak
terawat, alamat akan lebih cepat hancur dari yang diperikarakan.
Pembaca Singgalang dari generasi kalapo atau pinang sirah ikua tentu masih akrab dengan kata palayangan:
yaitu rakit besar yang dibuat di atas beberapa perahu atau balok-balok
kayu yang diberi lantai papan dan digunakan untuk menyeberangkan
kendaraan berat seperti melewati sebuah sungai yang belum mempunyai
jembatan. Sebelum tahun 1970-an banyak perantau Minang pasti pernah
merasakan naik pelayangan dalam perjalanannya ke rantau yang bertuah.
Pada masa itu belum seluruh jalan raya, lebih-lebih lagi jalan raya
antar provinsi, mempunyai jembatan permanen yang bisa dilewati mobil.
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan kodak lama yang mengabadikan satu palayangan
di daerah Rantau Pariaman. Foto yang aslinya berukuran 8×11,5 ini
diperkirakan dibuat antara 1915-1925. Tidak ada catatan siapa mat
kodak-nya, dan juga tidak begitu jelas di sungai apa di daerah Rantau
Pariaman pelayangan ini dibuat. Tampaknya sungainya tidak begitu lebar.
Barangkali dengan melihat foto klasik ini para pembaca Singgalang dapat ma-agah-agah, siapa tahu pelayangan ini dulunya ada di kampungnya.
Dalam foto ini terlihat oto yang
akan diseberangkan milik seorang orang putih, barangkali pejabat lokal
kolonial di daerah Pariaman. Pakaian putih adalah pakaian resmi
pejabat kolonial Belanda pada waktu itu. Konon warna putih dipilih
karena kurang menyerap panas yang dipancarkan oleh sinar matahari. Sekarang
para pejabat kita suka pakai jas hitam. Keren konon! Tapi mereka bisa
kepanasan bila tak naik oto yang rancak (mahal belinya) dan paten
AC-nya. Mereka pun sudah jarang naik palayangan jika melawat ke daerah-daerah, sebab dimana-mana sudah berdiri jembatan permanen dengan tonggak tembok tarali basi.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum Amsterdam).
sumber:http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/960
0 Response to "Minang Saisuak #94 - Palayangan di Pariaman"
Post a Comment