Minang Saisuak #94 - Palayangan di Pariaman


7c15b5a878855fbcaae76ce8450e348a_minang-saisuak-palayangan-di-pariaman

Sejak negeri ini menjadi modern dan bertambah maju, kata palayangan sudah makin hapus dari kepala masyarakat kita. Mungkin kata itu pun tidak tercatat lagi dalam Kamus Bahasa Minangkabau kontemporer. Itulah salah satu efek dari modernisasi dan pembangunan infrastruktur di negeri ini yang makin menghadirkan banyak jembatan dan jalan beraspal. Walau pun demikian, terbaca berita di koran Singgalang dan banyak surat kabar lainnya bahwa infranstuktur itu sekarang banyak yang tidak terawat, alamat akan lebih cepat hancur dari yang diperikarakan.

Pembaca Singgalang dari generasi kalapo atau pinang sirah ikua tentu masih akrab dengan kata palayangan: yaitu rakit besar yang dibuat di atas beberapa perahu atau balok-balok kayu yang diberi lantai papan dan digunakan untuk menyeberangkan kendaraan berat seperti melewati sebuah sungai yang belum mempunyai jembatan. Sebelum tahun 1970-an banyak perantau Minang pasti pernah merasakan naik pelayangan dalam perjalanannya ke rantau yang bertuah. Pada masa itu belum seluruh jalan raya, lebih-lebih lagi jalan raya antar provinsi, mempunyai jembatan permanen yang bisa dilewati mobil.

Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan kodak lama yang mengabadikan satu palayangan di daerah Rantau Pariaman. Foto yang aslinya berukuran 8×11,5 ini diperkirakan dibuat antara 1915-1925. Tidak ada catatan siapa mat kodak-nya, dan juga tidak begitu jelas di sungai apa di daerah Rantau Pariaman pelayangan ini dibuat. Tampaknya sungainya tidak begitu lebar. Barangkali dengan melihat foto klasik ini para pembaca Singgalang dapat ma-agah-agah, siapa tahu pelayangan ini dulunya ada di kampungnya.

Dalam foto ini terlihat oto yang akan diseberangkan milik seorang orang putih, barangkali pejabat lokal kolonial di daerah Pariaman. Pakaian putih adalah pakaian resmi pejabat kolonial Belanda pada waktu itu. Konon warna putih dipilih karena kurang menyerap panas yang dipancarkan oleh sinar matahari. Sekarang para pejabat kita suka pakai jas hitam. Keren konon! Tapi mereka bisa kepanasan bila tak naik oto yang rancak (mahal belinya) dan paten AC-nya. Mereka pun sudah jarang naik palayangan jika melawat ke daerah-daerah, sebab dimana-mana sudah berdiri jembatan permanen dengan tonggak tembok tarali basi.
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum Amsterdam). 



sumber:http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/960

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Minang Saisuak #94 - Palayangan di Pariaman"

Post a Comment